BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meneliti kebenaran suatu berita,
merupakan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batal.
Kaum muslimin sangat besar perhatiannya dalam hal ini, baik untuk menetapkan
suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan
dengan riwayat hidup Nabi mereka, yang berupa ucapan,perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada beliau.
Pembahasan tentang pembagian hadis secara umum tentu saja akan sangat kompleks
dan dibutuhkan perhatian tersendiri. Karena pembagian hadis tidak bisa terlepas
dari sudut pandang mana hadis tersebut dilihat. Kalau suatu hadis ditinjau dari
jumlah periwayat (kuantitas), akan dihasilkan hadis mutawatir, hadis masyhur,
hadis ahad. Sedangkan jika ditinjau dari segi kualitas (diterima atau
ditolaknya sebuah hadis), maka akan dihasilkan; hadis sahih, hadis hasan dan
hadis dha’if.
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa
pengertian dari Hadist Dha’if ?
2.Bagaimana
pembagian Hadist Dha’if sebab keterputusan sanad ?
3.Bagaimana
pembagian Hadist Dha’if sebab ketercelaan sanad ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Hadist Dha’if
2. Untuk
menjelaskan pembagian sebab keterputusan sanad.
3. Untuk
menjelaskan pembagian Hadist Dha’if sebab ketercelaan sanad..
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian Hadist Dha’if
Ulama’
hadist mendefinisikan hadist dha’if dengan :
“Setiap hadist yang padanya tidak
terkumpul sifat-sifat hadist shahih maupun sifat-sifat hadist hasan”.[1]
Al
Hafizh al Iroqi dalam Alfiah-nya meringkas definisi diatas dengan hanya
menyebutkan “setiap hadist yang tidak dapat memenuhi kriteria hadist hasan”,
tanpa menyebutkan sifat-sifat hadist shahih, dengan pertimbangan bahwa jika
persyaratan hadist hasan saja tidak terpenuhi, apalagi kriteria hadist shahih.
Hal yang sama juga dikemukakan As Suyuthi dalam menerjemahkan hadist dha’if. [2]
Hadist
dha’if dapat diartikan pula dengan setiap hadist yang tidak memenuhi
persyaratan diterimanya sebuah hadist (faqdu syartin min syuruthil qobul).
Persyaratan itu bisa berupa ketersambungan sanad, perawinya adil dan tidak
sering salah, adanya dukungan sumber lain (mutabi’/syahid) bila dalam sanadnya
terdapat perawi mastur (tertutup karakteristiknya) asalkan tidak sampai tertuduh
dusta atau banyak salah, dan terbebas dari unsur syad/illat. Syarat-syarat
inilah yang menjadikan sebuah hadist terindikasi dha’if bila salah satunya
tidak terpenuhi.[3]
2.2Hadist-Hadist Dhaif Sebab Keterputusan Sanad
A. Hadist
Mu’allaq
Ialah hadist
yang pada permulaan sanadnya gugur satu orang perawi atau lebih secara berturut
turut.[4]
Dari
definisi ini dapat diketahui bahwa bentuk hadist mu’allaq bisa berupa adanya
seorang perawi yang tidak disebutkan (gugur) pada awal sanad, atau pada seluruh
sanad selain sahabat, atau bahkan tanpa sanad sama sekali, yakni penyampai
hadist mengatakan “Rasulullah SAW bersabda...”
Contoh :
“Berkata Abu
Isa: Diriwayatkan dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:Barang siapa
shalat setelah maghrib 20 rakaat maka Allah akan mendirikan rumah baginya
disurga”.
Hadist diatas disebut mu’allaq sebab
rangkaian sanadnya bila di urutkan adalah; Abu Isa (Imam Tirmidzi)-dari
Aisyah-dari Nabi SAW. Jadi pada hadist ini, tentu ada beberapa rawi yang di
gugurkan antara Imam Tirmidzi dan Aisyah r.a sebab keduanya tidak hidup dalam
satu zaman.
B.Hadist
Munqathi’
Definisinya
yang terkenal ialah hadist yang di tengah sanadnya gugur seorang perawi atau
beberapa perawi secara tidak berturut turut.
Perawi yang
tidak di sebutkan pada istilah munqati’, yang penting letaknya tidak di awal
sanad sert berada pada posisi sebelum sahabat. Inilah yang dimaksud “gugurnya
perawi di tengah sanad” pada ta’rif di atas. Ini berarti pengecualian tipe
hadist mu’allaq dan mursal. Sementara batasan gugurnya bebrapa perawi secara
tidak berturut turut mengecualikan pada jenis hadist mu’dhol. Pengertian
seperti ini, di utarakan oleh At Tibrizi dan di dukung oleh Al Hafizh Al
‘’Iroqi serta Ibnu Hajar.[5]
Contoh :
“At Tirmidzi:
menceritakan kepada kami Nashor Bin Abdirrohman Al Kufi, menceritakan kepada
kami Zaid bin Hubab dari Hisyam Abi Miqdam dari Hasan dari Abi Huroiroh
berkata; Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca surat ‘Hamim Ad Dukhon’
pada malam jum’at maka dosanya akan di ampuni.[6]
Keterangan :
Susunan
sanad hadist di atas dari mulai perawi terakhir ialah :
1. Imam
Tirmidzi
2. Nashor
Bin Abdirroman
3. Zaid Bin
Hubab
4. Hisyam
Abi Miqdam
5. Hasan Bin
Abi Hasan Yasar
6. (...........................................)
7. Abi
Huroiroh
Hukum hadist Munqati’ terbilang
Dha’if dan tidak bisa di jadikan hujjah dalam urusan agama.
C. Hadist
Mu’dhol
Ialah hadist
yang dalam sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut turut.[7]
Misalnya
hadist yang di takhrij oleh imam malik dalam al Muwattho berupa :
“Imam Malik
: telah sampai kepadaku bahwa Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda :
bagi seorang hamba berhak mendapat makanan dan pakaian yang bagus, dan ia tidak
bleh di bebani pekerjaan kecuali yang mampu ia lakukan’’.[8]
Hadist di
atas di sebut Mu’dhol tersebab dalam rangkaian sanadnya, Imam Malik
menggugurkan dua orang rawi sekaligus secara berturut turut, yakni Muhammad Bin
Ajlan dan ayahnya. Hal itu dapat kita ketahui dari kitab selain Al Muwatho’,
dimana Imam Malik sendiri meriwayatkan hadist bersangkutan secara Muttasil,
dengan urutan sanad sebagai berikut: Imam Malik-dari Muhammad Bin Ajlan-dari
ayahnya (Ajlan)-dari Abu Hurairah r.a- dari Rasulullah SAW. Dari pengertian
diatas dapat di ketahui bahwa jika gugurnya dua orang rawi ada sanad hadist
tidak secara berturut turut maka ia tidak di istilah kan dengan hadist Mu’dhol
melainkan Munqati’ di dua tempat. Dapat di ketahui pula bahwa antara istilah
Mu’dhol dengan Mu’allaq terdapat segi persamaan dan perbedaan. Sebab ketika
gugurnya dua orang rawi atau lebih, terletak di awal sanad maka di samping ia
di sebutt Mu’dhol juga di namakan Mu’allaq. Yang membedakan adalah ketika
gugurnya rawi tadi tidak berada di awal sanad.
Kedha’ifan hadist Mu’dhol lebih
parah dari pada hadist Munqati’ karena ada dua orang perawi sekaligus yang di
gugurkan. Sedangkan kedha’ifan hadist munqati’ lebih para di banding hadist
mursalah.
D. Hadist
Mursal
hadist mursal adalah hadist yang dalam
sanadnya, seorang tabi’in menyandarkan langsung hadist itu kepada Nabi SAW,
baik berkaitan dengan sabda, perbuatan, atau ketetapan beliau SAW.[9] Hadist Mursal mashur pula di definisikan
dengan hadist yang dalam sanadnya gugur seorang sahabat. Namun redaksi ini,
dapat memberi kesan bahwa yang gugur adalah benar-benar seorang sahabat.
Padahal misalkan telah di ketahui bahwa yang gugur itu seorang sahabat, semua
ulama’ sepakat bahwa ia bukan lagi hadist yang tertolak atau lemah melainkan
hadist yang dapat di terima, sebab semua sahabat Nabi adalah adil.[10]
Contoh :
“Abu Dawud:
menceritakan kepada kami Qutaibah Bin Said, menceritakan kepada kami Al Laits
dari Ibn Abi Ja’far, dari Sofwan Bin Salim dari Abdillah Bin Yazid dari Muhamad
Bin Tsauban; bahwasannya Nabi SAW bersabda; barang siapa membuka seorang
perempuan kemudian melihat auratnya maka wajib memberi mas kawin’’.[11]
Pada sanad hadist ini, Muhammad Bin
Tsauban meng-irsal-kan hadist itu dengan menyandarkan langsung kepada Nabi SAW,
tanpa menyebutkan dari siapa ia mendapatkannya, padahal ia bukanlah seorang
sahabat. Jadi tidak ada kejelasan apakah yang di gugurkan itu seorang sahabat
atau tabi’in lain.
Mayoritas Muhaddisin menilai bahwa
hadist mursal tergabung dalam jajaran hadist dha’if, yang berarti ia tidak bisa
di gunakan sebagai hujjah. Sebab di samping tidak ada kesinambungan sanad, juga
karena ketidak adanya kejelasan identitas perawi yang di gugurkan.
E. HADIST
MUDALLAS
Mudallas secara bahasa berasal dari
kata “ad Dalasu” yang berarti gelap. Ulama’ hadist mendefinisikan mudallas
dengan hadist yang dalam sanadnya terdapat cacat yang di sembunyikan atau di
samarkan oleh seorang perawi dengan menggunakan salah satu bentuk penyamaran.
Perawi yang menyamarkan atau
menyembunyikan aib dalam sanad hadist itu di sebut mudallis, sedangkan
tindakannya dinamakan tadlis.
Contoh :
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303),
Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عن أبي إسحاق
عن البراء بن عا زب قال:قال رسول الله صلى عليه وسلم : ما من مسلمين يلتقيان فيتصا
فحان إلا غفرلهما قبل أن يتفرقا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata;
Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu
berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum
mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah
dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis.
Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah
ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan
dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung,
yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini
tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis
tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan
ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah,
Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari
jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku
menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata;
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis
tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis
tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul,
dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari
al-Barra’ adalah Mudallas.
2.3 HADIST
DHA’IF SEBAB KECACATAN SANADNYA
A. HADIST MAUQUF
Hadist
mauquf adalah hadist yang di sandarkan kepada sahabat r.a dan tidak sampai naik
kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan. Misalnya
seorang perawi mengatakan “Ali Bin Abi Thalib r.a berkata begini.......” atau
“Umar Bin Khatab r.a melakukan demikian........” atau “dikerjakan di depan Abu
Bakar r.a hal demikian dan ia tidak mengingkarinya”.
Contoh :
“Ali Bin Abi Thalib r.a berkata :
bicarakanlah kepada manusia apa yang dapat mereka mengerti, apakah kalian
senang jika Allah dan Rasulnya di dustakan”.
Hadist yang demikian di
sebut mauquf (terhenti) karena ia berpangkal pada ucapan seorang sahabat yakni
Ali Bin Abi Thalib r.a, bukan merupakan sabda Nabi SAW. Hadist-hadist seperti
inilah yang oleh fuqaha’ khurosan di istilahkan dengan atsar.
B. Hadist Maqthu’
Hadist
maqthu’ adalah apa yang di sandarkan pada tabi’in, berupa perkataan atau
perbuatan. Baik mereka dari kalangan tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
Tabi’in besar merupakan
istilah bagi mereka yang mayoritas riwayat hadist nya bersumber dari sahabat
dan hanya sedikit yang dari tabi’in seperti Said Bin Musayyab. Sedangkan jika
kebanyakan hadistnya di dapat dari tabi’in juga dan hanya sedikit yang dari
sahabat maka di katakan tabi’in kecil seperti Yahya Bin Said.
Contoh
hadist maqthu’ misalnya ucapan Hasan Al Basri, seorang tabi’in,
meengenai shalat di belakang seorang ahli bid’ah, sebagai berikut:
“dari Ibnu Mubaroq dari Hisam Bin
Hasan, bahwasannya Hasan pernah di tanya mengenai shalat di belakang ahli
bid’ah, kmudian Hasan menjawab: shalatlah di belakangnya, dan bagi dia sendiri (tanggungan)
ke bid’ahannya”.
C. Hadist Syadz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan
riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan
antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah
bersabda:
ايام التشريق
ايام اكل وشرب
Artinya:
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan
matan atau kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh,
yaitu: hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits
matruh (yang dibuang), hadits munkar(yang diingkari), hadits muallal (terkena
illat), hadits mudras (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar
balik), dan hadits syaz (yang ganjil).
D. Hadist Mu’allal
Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits
yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondosif berakibat
cacatnya hadits itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak.
Contoh:
قال
رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرفا
Artinya:
“Rasulullah
bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum
berpisah”
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pembahasan
tentang pembagian hadis sangat komplek dan beragam menurut para ulama. Namun
secara umum makalah ini membahas tentang hadist dha’if sebab keterputusan sanad
mulai dari hadist muallaq samapai hadist mudallas dan membahas tentang hadist
dha’if sebab ketercelaan sanadnya mulai dari hadist mauquf sampai hadist
mu’allal.
Demikianlah
pembahasan ini kami sampaikan, tentunya sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
pemakalah mengharap sikap kritis teman-teman yang akan membantu perbaikan
makalah ini nantinya.
3.2 Saran
seharusnya
dengan adanya makalah ini pembaca bisa menganalisa/mengetahui mana hadist yang
di terima dan hadist yang di tolak.
DAFTAR
PUSTAKA
-Misbah A.B, Mutiara Ilmu
Hadist,Kediri: Mitra Pesantren,2010
-Al Albani,
Muhammad Nashiruddin, Silsilah Hadist Dha’if dan Maudhu’,Jakarta:Gema
Insani,1995
-Shiddieqy,Hasbi
Ash,Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist,Jakarta:PT Bulan Bintang,1958
[1] Ibnu Sholah Ulumul Hadist dlm at Taqyid wal Idhoh 62. Maktabah
Tijariah Makkah
[2] Al ‘Iroqi Fathul Mughits 49 Darul Fikr
[3] Al Iroqi at Taqyid wal Idhoh 62. Maktabah Tijariyah Makkah
[4] At Turmusyi Manhaj Dzawin Nazhor 55. Maktabah Al Haromain
[5] Sayid Muhammad Bin Alawi Al Manhalul Lathif 97-98. Maktabah Malik
fahd. Hasan Muhammad Masyath at Taqrirot Assaniyah 28. Maktabah Sawadi. Mahmud
Thohhan Taisir Mustholah hadist 77-78. Al hidayah Sby.
[6] Suna Tirmidzi dlm kitab Fadho ‘Ilul Qur’an’ An Rasulillah pada bab Ma
Ja a Fi Fathli Hamim Ad Dukhon 4/407 Darul Fikr.
[7] Mahmud Thohan Taisir Mustholah Hadist 75. Al Hidayah Sby
[8] Al Muwatho’ dlm Tanwirul Hawalik pada bab Al Amru Bir Rifqi Bin Mamluq
3/145 Darul Fikr
[9] Muhammad Ajjaj Khotib Ushulul Hadist. 337 Darul Fikr
[10] Hassan Muhammad Masyath Attaqrirat Assaniyah Fi Syarhil Manzhumah Al
Baiquniyah 25. Maktabah Sawadi. Ahmad Ummar Hasyim Qowa’idu Ushulil Hadist 104.
Darul Fikr
[11] Abi Dawud dlm kitab Al Marosil pada bab Fil Mahri. Nomor hadist 222
No comments:
Post a Comment