A. Mustahiq Zakat
Zakat sebagai rukun Islam merupakan
kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka
yang berhak menerimanya dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber
dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi
seluruh masyarakat. Manusia sebagai pengemban amanat berkewajiban
memenuhi ketetapan yang telah ditentukan
oleh Allah SWT baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaanya. Dan
zakat merupakan salah satu ketetapan Allah yang berhubungan dengan harta, harta
benda dijadikan Tuhan sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya,
maka zakat harus diarahkan guna kepentingan bersama. Seperti sudah kita
ketahui, masalah zakat disebutkan dalam Al-Qur’an serta ringkas seperti halnya
sholat, maka secara khusus, Al-Qur’an telah memberikan perhatian dengan
memberikan keterangan kepada siapa saja zakat dibagikan. Tidak diperkenankan
para penguasa memberikan zakat menurut kehendaknya sendiri dan hasil
pengumpulan zakat di daya gunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama,
dan orang yang berhak meneriman
zakat terbagi 8 asnaf. Sebagaimana
diterangkan dalam Al-Qur’an surat AtTaubah: 60
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(At-Taubah:60)
Ayat ini dengan jelasmenggunakan kata “innama”, inimenunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk
delapan golongan tersebut, dan
tidak untuk yang lainnya. Delapan golongn tersebut adalah :
A. Fakir
Terdapat
perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr,
jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah orang yang
tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta
atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat
tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
B. Miskin
Dalam
mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun, kedua
golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin
adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi
kebutuhannya sehari-hari.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau
penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi
penghasilan tersebut tidak mencukupi.
Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif
kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir dan
miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang sama.
Islam
sangat memperhatikan nasib fakir dan miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib
mereka. Bahakan Al-Qur’an memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir
miskin sebagai pendusta agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat
1-3. Usaha-usaha Islam untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara
lain ialah dengan pemberian zakat kepada mereka.
Dan
fakir miskin adalah yang paling berhak menerima zakat diantara delapan asnaf.
C. Amil zakat
Yaitu
orang-orang yang bertugas mengambil zakat dari para muzakki dan
mendistribusikan kepada para mustahiq. Mereka itu adalah kelengkapan personil
dan finasial untuk mengelola zakat.
a) Termasuk dalam kewajiban imam adalah
mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya,
b) seperti yang pernah dilakukan
Rasulullah dan para khalifah sesudahnya, Syarat orang-orang yang dapat dipekerjakan
sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh dan berakal,
mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan- membidangi pekerjaannya,
dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian urusan zakat, terutama yang
berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.
c) Para amil mendapatkan kompensasi sesuai dengan
pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap, meskipun dengan nama hadiah,
seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim, “Sesungguhnya
aku mempekerjakan kalian salah seorang di antaramu melaksanakan tugas yang
pernah Allah sampaikan kepadaku, kemudian datang kepadaku dan mengatakan: ‘Ini
untukmu dan ini hadiah untukku’, apakah ketika ia duduk di rumah ayah ibunya
akan ada hadiah yang menghampirinya?”
d) Para amil harus bersikap lunak dengan para
muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya, mendoakannya ketika
mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan memberikan bagian mereka.
D. Mu’allaf
Mu’allaf
adalah orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam,c atau
untuk menguatkan Islamnya, atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum
muslimin, atau mengharapkan dukungannya terhadap kaum muslimin.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqih tentang bagian zakat bagi para mu’allaf setelah
wafatnya Rasulullah SAW. ulama Mazhab Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa
mu’allaf tidak perlu lagi diberi zakat setelah wafatnya Rasulullah SAW, karena
posisi dan keadaan umat Islam sudah kuat. Alasan mereka adalah praktek yang
dilakukan Umar bin Khattab, Utsman bin affan, dan ali bin Abi Thalib ketika
ketiganya menduduki jabatan khalifah; mereka tidak memberikan bagian zakat
kepada mu’allaf. Akan tetapi jumhur ulama, termasuk al-Qadi Abdul wahab
al-Maliki (ahli fiqih Mazhab Maliki) berpendapat bahwa bagian zakat untuk
mu’allaf itu tetap berlaku dan diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi,
kondisi dan kebutuhan
E. Memerdekakan Budak
Zakat
dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak,
yaitu dengan:
a.
Membantu
para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentuuntuk
pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya
dari zakat.
b.
Atau dengan membeli budak kemudian
dimerdekakan
Pada
zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah
tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan
tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab
perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih
berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya. Bahkan Mahmud
Syaltut (tokoh fiqih Mesir) menyatakan bahwa bagian zakat untuk memerdekakan
budak bdisa dipergunakan untuk menghindari suatu Negara dari perbudakan
ekonomi, cara berpikir dan politik.
F. Orang-orang yang berutang
Al-Gharim
adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis
gharim, yaitu:
a. Al-Gharim
untuk kepentingan dirinya sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup
kebutuhan primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya,
seperti rumah, makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah
sehingga kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat
diberi zakat dengan syarat:
1) membutuhkan
dana untuk membayar hutang
2) hutangnya
untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah
3) hutangnya
jatuh tempo saat itu atau pada tahun itu
4) tagihan
hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis
ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Al-Gharim
diberikan sejumlah yang dapat melunasi hutangnya.
b. Al-Gharim
untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan
dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk
meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan
umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu
melunasinya dari zakat.
G. Sabilillah
Ibnul
Atsir berkata, kata Sabilillah berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang
bekerja ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
kewajiban, yang sunnah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu
diucapkan, maka pada umumnya ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya
penggunaannya untuk konotasi ini maka sepertinya kata fisabilillah, hanya
digunakan untuk makna jihad ini (lihat Kitab An-NihayahIbnu Atsir).
Menurut
empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi
sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan
pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat
dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak
memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti
majid, madrasah, dan lain-lain.
Pandapat
lain. Imam Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari
firman Allah wa fii sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya
terbatas pada para tentara saja. Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam
tafsirnya dari sebagian ulama fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran
zakat kepada seluruh proyek kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar,
membangun masjid, karena kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek
kebaikan.
As-Sayyid
Siddiq Hasan Khan berkata, sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada
Allah. Sedangkan jihad –meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada
dalil yang mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun
Nadiyyah).
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di
sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan
urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah
persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat
transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah
mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan
Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).
Syeikh
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam
hal ini menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak
dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu
dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel
kereta, dan mempersiapkan para dai.
Syeikh
Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat
kepada seluruh organisasi kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi
dari Al-Qaffal dan lain-lain dalam memaknai kata fi sabilillah.
Dalam Zhilalil
Qur’an, Sayyid Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas yang mencakup
seluruh kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.
Kesimpulannya,
yang rajah (kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah
“fisabilillah” adalah jihad seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan
tetapi bentuk jihad pada masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada
berperang. Karena hukum Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa.
Adapun pada zaman sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang
bermacam-macam untuk menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi
umat Islam. Kami berpendapat bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat
kepada lembaga-lembaga modern seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah.
Yaitu jalan yang digunakan untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam,
baik dalam bentuk tsaqafah (wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan
perlu ditegaskan di sini bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat
adalah perang fisabilillah di bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan
Islam dan dibawah komando pemimpin Islam.
H. Ibnu sabil
Menurut
jumhur ulama, ibnu sabil adalah musafir yang melakukan suatu perjalanan bukan
untuk maksiat dan dalam perjalanan itu mereka kehabisan bekal. Yusuf
al-Qardawi, setelah mendiskusikan beberapa ayat, mengatakan bahwa Al-qur’an
meneyebutkan yang disebut “perjalanan” yang disuruh dan dirangsang oleh Allah
SWT itu adalah:
a. Orang-orang
yang melakukan perjalanan untuk mencari rezeki (QS: 67: 15),
b. Para
penuntut ilmu (QS: 29:20, 3:137, dan 22: 46),
c. Berjihad/perang
dijalan Allah SWT (QS: 9: 41 – 42 dan 121),
d. Melaksanakan
haji ke Baitullah (QS: 3:97 dan 22: 27 – 28).
Oleh
sebab itu Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa ibnu sabil dalam kaitannya dengan
zakat adalah seluruh bentuk perjalanan yang dilakukan untuk kemaslahatan umum
yang manfaatnya kembali pada agama Islam atau masyarakat Islam.
Ibnu sabil yang berhak menerima
zakat menurut ulama fiqih harus memenuhi syarat:
a. Dalam
keadaan membutuhkan,
b. Bukan
perjalanan maksiat.
B. Pendistribusian Zakat
Persoalan
utama yang dibahas ulama fiqih dalam masalah ini adalah boleh tidaknya
memberikan zakat kepada salah satu golongan dari delapan golongan di atas.
Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ahli fiqih ,berikut
merupakan pendapat para ahli fiqh.
I.
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu
dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat
diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang
membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
II.
Madzhab
Hanafi, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada
sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka
memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai
dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat
dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
Ø Tidak diperbolehkan menghilangkan
hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup
banyak.
Ø Diperbolehkan memberikan zakat hanya
kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk
pembiayaan mujahid di medan perang.
Ø Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf
secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang
diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan.
Ø Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas
adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena
kondisi darurat sesaat.
Ø Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya
dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang
saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
Ø Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin
tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat
tidak habis di tangan para pegawai saja.
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Faqir.
Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta ataupun pekerjaan atau mempunyai harta/pekerjaan namun hartanya atau hasil kerjanya tidak bisa mencukupi keperluan hidup sehari-hari bahkan jika dinominalkan, harta yang dihasilkan kurang dari setengahnya dari kebutuhan harian. Misalnya dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari, kita membutuhkan Rp. 10000. Orang dikatakan faqir jika dalam sehari hanya bisa mendapatkan uang kurang dari Rp. 5000 saja. - Miskin.
Sedangkan miskin sedikit lebih tinggi derajatnya dari faqir. Orang miskin bisa mendapatkan penghasilan dari kerjanya lebih dari setengah kebutuhan harian, namun tetap tidak bisa mencapai kebutuhan standar. Jika kebutuhan standar Rp. 10000, maka orang miskin bisa menghasilkan uang lebih dari Rp. 5000 dari mata pencahariannya, namun masih di bawah Rp. 10000.
Adapun ayah/ibu atau kakek/nenek kita yang tidak punya harta/penghasilan maka kebutuhannya merupakan tanggung jawab kita dan mereka tidak bisa disebut faqir miskin. Artinya jika kita ditaqdirkan punya harta, sedangkan kakek kita sendiri tidak punya harta, maka kita tidak boleh berzakat kepadanya, karena memberikan penghidupan untuk sekedar kebutuhan sehari-hari merupakan tanggung jawab kita. Begitu juga jika ada orang yang lebih mengutamakan ibadah sunat atau mempelajari ilmu-ilmu yang sunat sehingga terhalang untuk melakukan kasab, maka mereka tidak bisa disebut faqir miskin, kecuali jika mereka mengejar ilmu yang wajib hukumnya sehingga tidak bisa melakukan kasab, maka mereka bisa disebut faqir miskin. - Amil.
Amil terbagi 4 bagian, yakni : - Amil
Kisa'i, yakni orang yang bertugas memungut harta zakat dari pemberi
zakat/muzakki.
- Amil
Katib, yaitu orang yang bertugas sebagai pencatat masuk keluar harta
zakat.
- Amil
Qosim, yaitu orang yang bertugas membagikan harta zakat kepada
mustahiqnya.
- Amil
Hasyir, adalah orang yang bertugas mengumpulkan orang-orang yang akan
berzakat.
- Muallaf.
Ada beberapa klasifikasi yang termasuk ke dalam golongan muallaf : - orang yang
baru masuk Islam dan masih lemah keyakinannya.
- orang yang
masuk Islam dan mempunyai keyakinan yang kuat namun masih mempunyai
posisi yang mulia di kalangan kaum kafir.
- orang yang
dekat dengan kaum kafir dan dikhawatirkan terpengaruh kejahatan mereka.
- orang yang
dekat dengan mereka yang anti zakat dan dikhawatirkan akan terpengaruh
faham mereka.
- Riqob.
- Ghorim.
Yang termasuk golongan ghorim adalah : - mereka
yang mempunyai utang dengan syarat utang tersebut tidak dipakai untuk
hal-hal yang haram dan mereka tak mampu membayarnya dengan cara apapun.
- orang yang
berutang demi membereskan suatu masalah di antara 2 golongan yang
bertikai dengan tujuan agar tidak terjadi fitnah.
- orang yang
berutang karena menjaminkan sesuatu/menggadaikan.
- Sabilillah
adalah orang yang berperang di jalan Allah dan mereka tidak punya bekal
ketika berjihad.
- Ibnu Sabil adalah mereka yang
melakukan perjalanan dan kehabisan bekal, maka mereka berhak mendapat
zakat dengan syarat perjalanannya tidak untuk maksiat.
No comments:
Post a Comment